Suaranetizennews,- KERUSUHAN di depan DPR dijadikan panggung oleh Laskar Cinta Jokowi untuk menyerang Presiden Prabowo Subianto.
Mereka dengan enteng menuding bahwa ricuhnya demonstrasi adalah bukti kegagalan negara menjaga rasa aman, lalu menutup pernyataan dengan kalimat pamungkas: Prabowo sebaiknya mundur.
Argumen ini sekilas tampak heroik, seakan-akan lahir dari kepedulian moral. Namun bila ditelaah, justru inilah bentuk pengalihan isu paling vulgar dan manuver politik paling telanjang pasca Jokowi lengser.
Fakta lapangan sederhana, bahwa aparat keamanan yang bertugas di jalanan hingga hari ini masih dikomandoi oleh figur-figur yang lahir dan besar di era Jokowi.
Menkopolhukam, Panglima TNI, Kapolri, Mendagri?”semua masih orangnya Jokowi. Mesin keamanan yang memutuskan tembakan gas air mata, menurunkan barikade Brimob, dan melakukan penangkapan demonstran bukan dibentuk oleh Prabowo, melainkan diwariskan oleh Jokowi.
Jika ada yang gagal mengendalikan situasi, logika paling sederhana menunjukkan bahwa akar masalah justru ada pada warisan yang ditinggalkan, bukan pada presiden baru yang bahkan belum sempat membenahi struktur.
Di sinilah kejanggalan narasi Laskar Cinta Jokowi terbuka. Alih-alih mengakui bahwa ricuhnya demonstrasi adalah konsekuensi dari cara aparat yang masih bekerja dengan mentalitas lama, mereka malah melempar seluruh kesalahan ke Prabowo. Ini jelas bukan kritik murni, melainkan strategi pengkambinghitaman.
Mereka butuh tokoh baru untuk dijadikan tameng, agar isu utama yang sebenarnya mengarah ke Jokowi dan Gibran bisa terselamatkan. Mari kita ingat, flyer undangan aksi yang beredar pekan lalu berisi tuntutan usut korupsi Jokowi dan lengserkan Gibran. Namun menjelang aksi, tuntutan itu dipelintir menjadi soal tunjangan DPR. Pergeseran isu yang terlalu rapi untuk disebut kebetulan.
Laskar Cinta Jokowi tahu bahwa gelombang kekecewaan rakyat bukan hanya soal Prabowo.
Ini soal kekecewaan berakar dari marah yang menumpuk selama satu dekade pemerintahan Jokowi, yaitu korupsi, KKN di MA, pelemahan KPK, oligarki, dan politik dinasti. Tapi alih-alih berani menghadapi fakta itu, mereka lebih memilih menciptakan kambing hitam baru. Dengan menyalahkan Prabowo, mereka bisa menghapus jejak kegagalan lama, sekaligus merintis narasi bahwa setiap kekacauan pasca-2024 harus ditanggung oleh rezim baru. Logika ini tidak hanya cacat, tapi juga munafik.
Lebih ironis lagi, separo kabinet Prabowo saat ini masih diisi oleh orang-orang Jokowi.
Bagaimana mungkin Prabowo bisa dijatuhkan dengan tuduhan gagal mengendalikan negara, sementara separuh mesin negara masih dipegang jaringan lama?
Apakah Prabowo gagal, atau justru ada sabotase halus dari dalam pemerintahan sendiri?
Pertanyaan ini lebih masuk akal ketimbang mengikuti histeria murahan Laskar Cinta.
Strategi ini bukan hal baru. Orde Baru dulu terbiasa mencari kambing hitam untuk menutupi krisis, entah itu “IMF”, “PKI gaya baru”, atau kelompok lain.
Kini pola yang sama dipakai oleh Laskar Cinta Jokowi, dengan menggeser sorotan dari korupsi Jokowi-Gibran, arahkan spotlight ke Prabowo, lalu lempar opini bahwa presiden baru gagal sejak awal.
Tujuannya jelas, yaitu menciptakan delegitimasi dini, agar Jokowi tetap punya posisi tawar di panggung politik nasional meski sudah tidak lagi berkuasa.
Rakyat tidak sebodoh yang dibayangkan. Publik bisa membaca bahwa narasi ini hanyalah upaya putus asa untuk mencuci dosa. Tidak ada yang menyangkal bahwa keamanan negara tanggung jawab presiden, tapi logika hukum dan politik mengajarkan bahwa tanggung jawab itu juga melekat pada aktor-aktor yang masih bercokol di sistem.
Jika Menkopolhukam, Kapolri, dan Panglima TNI gagal mengendalikan aparat, maka kegagalan itu juga kegagalan jaringan lama yang masih dipertahankan. Menutup mata dari fakta ini sama saja menipu publik.
Dan satirenya jadi sederhana, bahwa Laskar Cinta Jokowi ibarat maling yang menjerit paling kencang ketika rumah tetangga terbakar. Mereka berpura-pura jadi pemadam kebakaran, padahal api berasal dari rumah mereka sendiri. Dengan berteriak “Prabowo gagal”, mereka berharap publik lupa bahwa bara yang meledakkan kerusuhan hari ini adalah sumbu yang mereka tanam sejak lama: politik dinasti, korupsi yang dibiarkan, dan aparat yang dipelihara lebih untuk menundukkan rakyat ketimbang menjaga demokrasi.
Jika Laskar Cinta Jokowi ingin bicara tentang kegagalan negara, seharusnya mereka mulai dengan bercermin pada warisan Jokowi sendiri.
Jangan menutupi luka lama dengan menuding orang baru. Sebab rakyat sudah muak dijadikan obyek manipulasi.
Narasi pengkambinghitaman ini mungkin laku di kalangan relawan yang masih mabuk euforia, tapi di mata rakyat yang tiap hari menghirup gas air mata dan kehilangan pekerjaan, ini hanya permainan murahan.
Dan sejarah selalu kejam pada permainan murahan. Sejarah akan mencatat siapa yang sebenarnya menyalakan api, bukan siapa yang pura-pura memadamkannya.
Mantan Ketua Poros Wartawan Jakarta
Tri Wibowo Santoso